Bila suci Dari Haid Setelah Ashar, Apakah Hanya Menunaikan Shalat Ashar saja atau dengan Dzuhur ? Simak...


Ada pendapat fiqih yang menyatakan bahwa :

Saat seorang wanita suci dari haid setelah Ashar apakah ia wajib menunaikan ashar saja atau dengan shalat yang berlalu sebelumnya yaitu shalat dzuhur ?


Maka menurut pendapat yang pertama:

√ Saat ia suci setelah Ashar maka ia wajib mengerjakan shalat Ashar dan Dzuhur dan 

√ Begitu pula saat ia suci setelah isya maka ia wajib mengerjakan shalat Isya serta Magrib.


Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan telah dinyatakan oleh sahabat seperti Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. 


Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas tabi’in kecuali Al-Hasan, serta merupakan pendapat mazhab Syafi’i, Hanbali, dan lainnya. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz dan para ulama Komite Tetap (Lajnah Daimah) dari kalangan ulama kontemporer, semoga Allah merahmati mereka semua.


Adapun Al-Hasan, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah, serta Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa wanita tersebut hanya wajib menunaikan shalat yang ia dapati waktunya saja ( Yaitu Ashar dan isya, tidak perlu shalat Dzuhur ). 


Karena waktu shalat sebelumnya telah berlalu dalam kondisi uzur, sehingga tidak wajib ditunaikan, sebagaimana halnya jika ia tidak sempat mendapatkan satu rakaat pun dari waktu shalat kedua.


Mayoritas ulama mendasarkan pendapat yang pertama dengan  riwayat dari dua sahabat mulia, Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yang mengatakan tentang wanita haid yang suci sebelum terbit fajar dengan satu rakaat: 


Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ بَعْدَ الْعَصْرِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ بَعْد الْعِشَاء صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ .

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika wanita haidh suci setelah ‘Ashar, maka ia tetap mengerjakan shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar. Jika ia suci di waktu ‘Isya, maka ia tetap mengerjakan shalat Maghrib dan shalat ‘Isya. 


(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ad Darimi 894, Ibnul Mundzir dalam Al Awsath 2/243 dan Al Baihaqi 1/387)


وَعَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ : إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ ، وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْل الْفَجْر صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ رَوَاهُمَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ فِي سُنَنِهِ وَالْأَثْرَمُ ، وَقَالَ : قَالَ أَحْمَدُ : عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ ا هـ .


Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata, “Jika wanita haidh suci sebelum tenggelam matahari, maka ia tetap harus mengerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar. Jika ia suci sebelum Fajar (waktu Shubuh), maka ia tetap mengerjakan shalat Maghrib dan Isya


(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/122, Ibnul Mundzir dalam Al Awsath 2/243, Al Baihaqi 1/387)




Dalam kitab Al-Mubdi' (1/312) disebutkan,

"Tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi pendapat mereka.” 

Abu Bakr bin Ishaq berkata, “Aku tidak mengetahui ada seorang pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat keduanya.” 

At-Talkhish Al-Habir (1/344


Pendapat Kedua:

Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah dalil berikut.


وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. 

Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” 

(Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)


وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: “سَجْدَةً” بَدَلَ “رَكْعَةً”. ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ

Menurut riwayat Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ada hadits serupa, di mana beliau bersabda “sekali sujud” sebagai pengganti dari “satu rakaat”. Kemudian beliau bersabda, “Yang dimaksud sekali sujud itu adalah satu rakaat.” 

(HR. Muslim, no. 609)


Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan,

Seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur.


Menurut pendapat Syeik Utsaimin di atas bisa disimpulkan bahwa Jika wanita haidh suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia masih memiliki kewajiban untuk melaksanakan shalat.

Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat.


Dalam Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadat (hlm. 139-140) disebutkan: 

“Jika wanita haidh suci sebelum keluar waktu, ia hanya diharuskan mengqadha shalat yang ia suci saat itu."

Inilah pendapat dalam madzhab Hanafiyah, Zhahiriyah, perkataan sebagian salaf, juga pilihan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.



Program 3 Tahun

https://kuliahbagus.com/2025/01/13/kuliah-bagus-angkatan-22/

Program 1 Tahun


Adapun dalil yang digunakan oleh pendapat kedua tidak secara tegas menyentuh permasalahan ini. Dalil tersebut lebih jelas dalam pembahasan tentang seseorang yang mendapatkan kurang dari satu rakaat di akhir waktu Ashar sebelum matahari terbenam. 


Apakah ia dianggap mendapatkan shalat pada waktunya sehingga shalatnya dihitung sebagai ada’ (dalam waktu) ataukah tidak sehingga shalatnya dihitung sebagai qadha (di luar waktu)?


Mungkin inilah alasan mengapa mayoritas ulama tidak menganggap dalil pendapat kedua di atas tidak cukup kuat untuk membantah pendapat dua sahabat, Ibnu Auf dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Terlebih lagi, tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi pendapat mereka, sebagaimana telah dijelaskan.


Karena tidak ada dalil yang tegas dalam masalah ini, baik dari Kitab Allah maupun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini dianggap wajar, dan tidak semestinya mencela pihak lain.


Link PPDB_Semua https://bit.ly/PPDB_Semua


Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata,

 “Jika engkau melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tanpa adanya dalil yang tegas, maka kami katakan bahwa dalam hal ini ada kelonggaran.” 

(Syarh Al-Mumti' (5/165)


Beliau juga berkata, “Sebagian orang menjadikan perbedaan pendapat dalam hal yang diperbolehkan untuk ijtihad sebagai penyebab perpecahan dan perbedaan, hingga ia menganggap sesat saudaranya dalam hal yang mungkin justru ia sendiri yang keliru. Ini adalah ujian yang menyebar di zaman ini, meskipun di zaman ini ada optimisme yang baik dalam kebangkitan generasi muda, namun hal ini bisa merusak kebangkitan tersebut dan mengembalikannya ke dalam tidur yang panjang karena perpecahan ini.” 

(Syarh Al-Mumti' (5/137)



Pendapat yang tampak lebih kuat menurut kami adalah pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini telah dinyatakan oleh Ibnu Auf dan Ibnu Abbas dari kalangan sahabat, mayoritas tabi’in kecuali Al-Hasan, serta dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz dan para ulama Komite Tetap.


Namun, jika seorang wanita mengikuti pendapat lain, meyakininya, atau mendapat fatwa dari ulama yang ia percayai ilmunya, maka tidak ada masalah baginya, insya Allah. Sebagaimana disebutkan, ini adalah permasalahan khilaf yang sah dan diperbolehkan, sehingga tidak perlu ada pengingkaran.


Wallahu a’lam.

https://bit.ly/WanitaHaidQadha

Ustadz Khudori 

https://bit.ly/JadwalKhotibMe2025

0 Komentar